"Saya
ingin masuk ke sekolah negeri, Kak." Sebuah ucapan sederhana yang
diucapkan dengan makna yang dalam. Kalimat itu berasal dari Alfi, seorang murid
tuna grahita. Sekilas, kalimat tersebut mungkin terdengar seperti lalu lalang
pengandaian biasa—keinginan berpindah dari sekolah swasta ke sekolah negeri.
Permintaan yang secara materi mungkin bisa saja terjadi, namun secara
kondisi... saya hanya bisa berdoa, semoga semesta mampu mengabulkannya.
Setidaknya
itulah salah satu doa yang saya amini dalam kesempatan pertama, ketika saya mendapatkan kesempatan mengajar
pada Kemenkeu Mengajar 9, di Sekolah Luar Biasa (SLB) Cempaka Putih.
Alfi
adalah satu dari sekian siswa luar biasa dengan keinginan dan mimpi besar.
Seperti Alfi, teman sekelasnya, Laela, yang juga tuna grahita, bermimpi menjadi
polisi wanita (polwan) untuk melindungi rekan-rekannya. Sudah tentu berbicara
tentang cerita dan keinginan ini terkesan angan-angan, akan tetepi hal-hal
sederhana tersebutlah merupakan keindahan dalam memaknai dan menjalani
kehidupan.
Ngomong-ngomong,
menjadi relawan pengajar di SLB adalah pengalaman yang tak akan pernah saya
lupakan. Pengalaman berharga bertemu dengan puluhan siswa-siswi istimewa,
pilihan Tuhan, di mana gelak tawa mereka mencerminkan kesederhanaan, dan sorot
mata mereka memancarkan ketulusan.
Setiap
siswa di SLB memiliki ciri khas masing-masing, sebuah keunikan yang membedakan
satu dengan yang lain. Anehnya, bertemu dengan beberapa pasang mata luar biasa
ini tidak membuat saya lelah untuk terus memperhatikan dan mencoba mengenal
mereka lebih dalam.
Bahkan
sebelum pembelajaran dimulai, saya sudah dibuat terpukau oleh seorang murid
bernama David. David adalah murid tuna rungu, namun semangatnya selalu
terpancar ketika melakukan sesuatu hal. Meski kakinya terlihat tidak tegap saat
melangkah, tangannya sudah lebih dulu kokoh menyapa, meraih tangan kami untuk
berjabat dan menciumnya. Melalui sapaan hangat itu, ia memberikan energi
positif, semangat untuk terus berusaha berbicara kepada kami. Walaupun saya
tidak sepenuhnya memahami ucapannya, David begitu antusias menceritakan
cita-cita heroiknya menjadi seorang pahlawan, seperti sosok pahlawan yang ia
tunjuk di lembar uang rupiah yang dibawanya.
Saat
pembukaan Kemenkeu Mengajar 9, di barisan depan saya melihat seorang siswi tuna
grahita dengan senyum hangat yang selalu ia berikan. Beberapa kali ia menunduk,
namun setiap kali mata kami bertemu, ia selalu menyuguhkan senyuman manisnya.
Senyuman yang, jika dilihat lebih dalam, memancarkan ketulusan yang begitu
indah. Gadis kecil itu... sayangnya saya tidak sempat membaca label nama yang
tertera di bajunya karena terlalu menikmati senyum tulus yang terpatri dalam
ingatan saya.
Mereka
semua terus membuat saya terkesan. Ada banyak nama lain yang ingin saya
sebutkan, namun melalui tulisan ini, saya berharap dapat mewakili betapa
istimewanya perasaan saya saat bertemu dan mengenal mereka secara langsung.
Sebagai
seorang relawan pengajar, saya menyadari bahwa bukan hanya saya yang memberikan
pembelajaran kepada mereka. Justru, bertemu dengan anak-anak luar biasa ini
membuat saya merasa bahwa sayalah yang banyak belajar. Mereka mengajarkan saya
arti kesederhanaan—bahwa kebahagiaan tidak perlu dicari dalam hal-hal besar,
melainkan bisa ditemukan dalam hal-hal kecil. Sebuah tawa ringan, sapaan
hangat, bahkan hanya dengan sebuah senyuman sudah membuat mereka bahagia.
Mereka
mengajarkan saya bahwa hidup tidak selalu tentang pencapaian besar atau
kesempurnaan, tetapi tentang menikmati setiap momen dengan hati yang tulus.
Dari mereka, saya belajar bahwa rasa syukur dan kebahagiaan bisa datang dari
hal-hal yang paling sederhana, dan itu adalah pelajaran berharga yang akan
terus saya bawa dalam perjalanan hidup saya.
@yurfasr
cerita Kemenkeu Mengajar 9
#KilasKM
No comments:
Post a Comment