Pages

Tentang Kesederhanaan "Itu" #KM9

 


"Saya ingin masuk ke sekolah negeri, Kak." Sebuah ucapan sederhana yang diucapkan dengan makna yang dalam. Kalimat itu berasal dari Alfi, seorang murid tuna grahita. Sekilas, kalimat tersebut mungkin terdengar seperti lalu lalang pengandaian biasa—keinginan berpindah dari sekolah swasta ke sekolah negeri. Permintaan yang secara materi mungkin bisa saja terjadi, namun secara kondisi... saya hanya bisa berdoa, semoga semesta mampu mengabulkannya.

Setidaknya itulah salah satu doa yang saya amini dalam kesempatan pertama, ketika saya mendapatkan kesempatan mengajar pada Kemenkeu Mengajar 9, di Sekolah Luar Biasa (SLB) Cempaka Putih.

Alfi adalah satu dari sekian siswa luar biasa dengan keinginan dan mimpi besar. Seperti Alfi, teman sekelasnya, Laela, yang juga tuna grahita, bermimpi menjadi polisi wanita (polwan) untuk melindungi rekan-rekannya. Sudah tentu berbicara tentang cerita dan keinginan ini terkesan angan-angan, akan tetepi hal-hal sederhana tersebutlah merupakan keindahan dalam memaknai dan menjalani kehidupan.

Ngomong-ngomong, menjadi relawan pengajar di SLB adalah pengalaman yang tak akan pernah saya lupakan. Pengalaman berharga bertemu dengan puluhan siswa-siswi istimewa, pilihan Tuhan, di mana gelak tawa mereka mencerminkan kesederhanaan, dan sorot mata mereka memancarkan ketulusan.

Setiap siswa di SLB memiliki ciri khas masing-masing, sebuah keunikan yang membedakan satu dengan yang lain. Anehnya, bertemu dengan beberapa pasang mata luar biasa ini tidak membuat saya lelah untuk terus memperhatikan dan mencoba mengenal mereka lebih dalam.

Bahkan sebelum pembelajaran dimulai, saya sudah dibuat terpukau oleh seorang murid bernama David. David adalah murid tuna rungu, namun semangatnya selalu terpancar ketika melakukan sesuatu hal. Meski kakinya terlihat tidak tegap saat melangkah, tangannya sudah lebih dulu kokoh menyapa, meraih tangan kami untuk berjabat dan menciumnya. Melalui sapaan hangat itu, ia memberikan energi positif, semangat untuk terus berusaha berbicara kepada kami. Walaupun saya tidak sepenuhnya memahami ucapannya, David begitu antusias menceritakan cita-cita heroiknya menjadi seorang pahlawan, seperti sosok pahlawan yang ia tunjuk di lembar uang rupiah yang dibawanya.

Saat pembukaan Kemenkeu Mengajar 9, di barisan depan saya melihat seorang siswi tuna grahita dengan senyum hangat yang selalu ia berikan. Beberapa kali ia menunduk, namun setiap kali mata kami bertemu, ia selalu menyuguhkan senyuman manisnya. Senyuman yang, jika dilihat lebih dalam, memancarkan ketulusan yang begitu indah. Gadis kecil itu... sayangnya saya tidak sempat membaca label nama yang tertera di bajunya karena terlalu menikmati senyum tulus yang terpatri dalam ingatan saya.

Mereka semua terus membuat saya terkesan. Ada banyak nama lain yang ingin saya sebutkan, namun melalui tulisan ini, saya berharap dapat mewakili betapa istimewanya perasaan saya saat bertemu dan mengenal mereka secara langsung.

Sebagai seorang relawan pengajar, saya menyadari bahwa bukan hanya saya yang memberikan pembelajaran kepada mereka. Justru, bertemu dengan anak-anak luar biasa ini membuat saya merasa bahwa sayalah yang banyak belajar. Mereka mengajarkan saya arti kesederhanaan—bahwa kebahagiaan tidak perlu dicari dalam hal-hal besar, melainkan bisa ditemukan dalam hal-hal kecil. Sebuah tawa ringan, sapaan hangat, bahkan hanya dengan sebuah senyuman sudah membuat mereka bahagia.

Mereka mengajarkan saya bahwa hidup tidak selalu tentang pencapaian besar atau kesempurnaan, tetapi tentang menikmati setiap momen dengan hati yang tulus. Dari mereka, saya belajar bahwa rasa syukur dan kebahagiaan bisa datang dari hal-hal yang paling sederhana, dan itu adalah pelajaran berharga yang akan terus saya bawa dalam perjalanan hidup saya.





@yurfasr
cerita Kemenkeu Mengajar 9
#KilasKM

yvrfa

    No comments:

    Post a Comment

    Instagram