Pages

Getir



Pertemuan secara diam-diam itu yang selalu mendatangkan kenyamanan sendiri.

Gurauan, cacian, obrolan, dan mungkin beberapa perhatian kecil yang dia berikan sudah mendapatkan ruang tersendiri.


Pernah suatu waktu kita berbicara soal mimpi, meskipun gaya bicaranya santai, tapi sorot matanya selalu menyiratkan tekad dan ambisi, untuk memenuhi sebuah janji dalam memperbaiki diri. Yah, meskipun bukan sebuah fakta baru, karena memang sudah sejalan dengan kemauan belajarnya yang super tinggi itu.


Aku bertanya kepada andai, andai saja dulu aku bisa benar-benar tegas tentang perasaanku atau andai saja aku mampu memutuskan secara rasa, apa yang aku mau?

Nyatanya, egois sudah terlalu menyelimuti, sampai-sampai, aku tidak mau tahu apa itu disakiti dan menyakiti.


Pagi itu, suasana langit begitu cerah, terkumpul ribuan awan putih pada hamparan biru di atasnya. Hembusan angin dan sinar matahari yang sedang menjulang seakan mencoba menjadi saksi perbincangan dua turunan adam dan hawa di bawahnya.


Volume tenang yang menaungi percakapan pinggir pantai kini terasa liat. Resah menanti ungkapan apa yang selanjutnya terucap. Dari sebuah asumsi dan ekspektasi yang seakan redup dengan adanya kekhawatiran dibaliknya. Pengakuan. Sudah menjadi puaka untuk kedua insan yang masih berharap bahwa “kebenaran” itu jangan cepat dibuat nyata.


Hingga akhirnya, sudah, hanya begitu saja. 

Saat asumsi sudah dibuat jelas dan kedua mata sudah berkaca, getir perpisahan sudah terasa benar adanya. Rajutan kisah yang dibumbui diam-diam itu seharusnya sudah usai, bukan? Mengapa namanya masih selalu terpatri? Bukankah seharusnya aku yang baik-baik saja disini?



.....

guratan tengah malam

yvrfa

YOU MIGHT ALSO LIKE

No comments:

Post a Comment

Instagram